Pj Gubernur dalam Bayang-bayang Rivalitas “PSAP vs PSAB”

Tiga calon Pj gubernur Aceh (foto: repro)

Oleh: Adhie Gunong Ceukôk

SEKEDAR menyegarkan ingatan. PSAB adalah singkatan dari Persatuan Sepak Bola Aceh Besar, nama klub bola kabupaten itu. Sedangkan PSAP klub bola Pidie, termasuk Pidie Jaya sebelum kabupaten itu dimekarkan.

Klub bola hampir identik dengan fanatisme. Maka, misalnya, kita mengenal ada bonek — sebutan untuk pendukung fanatik Persebaya di Surabaya — yang sangat terkenal itu. Ada jakmania pencinta Persija Jakarta, Maong Bandung pendukung Persib, Lantak Laju fans Persiraja Banda Aceh, dan lain sebagainya.

Bola, bagi pencintanya, sangat istimewa. Tontonan yang dinanti hingga larut malam, bahkan sampai pagi. Kadang-kadang, permainan ini bisa menjadi ajang pertaruhan gengsi. Makanya tidak jarang, bisa juga berdarah-darah.

Tapi, yang hendak dibicarakan di sini sama sekali tidak berkaitan dengan olahraga. Pada awalnya, mungkin, memang dimulai dari lapangan bola, bahwa pertandingan kedua kesebelasan tadi, PSAP dan PSAB, kerap diwarnai kekerasan dan kekerasan.

Ini yang kemudian membekas di memori publik. PSAP dan PSAB adalah dua seteru yang sulit didamaikan di lapangan bola.

Rivalitas antara “PSAP vs PSAB” ternyata tidak hanya berlangsung di lapangan hijau. Tapi juga dalam interaksi sosial. Meski susah untuk dibuktikan, tapi bahang-nya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Rivalitas antara “PSAP vs PSAB” terjadi di dunia politik dan birokrasi.

Dalam diskusi-diskusi informal, seperti di warung kopi dan media sosial, analogi yang menggunakan kedua nama klub tadi sering dipakai. Seperti pagi tadi. Di sebuah group WhatsApp yang beranggotakan para wartawan senior, berkembang diskusi soal Pj gubernur.

Seperti ramai diberitakan media, DPR Aceh sudah mengusulkan tiga nama sebagai calon penjabat (Pj) Gubernur Aceh untuk menggantikan Nova Iriansyah yang akan berakhir masa jabatan pad 5 Juli 2022. Dua nama merupakan putra daerah, yaitu Indra Iskandar kelahiran Pidie dan Safrizal putra Aceh Besar. Calon ketiga, Achmad Marzuki (mantan Panglima Kodam Iskandar Muda), kelahiran Jawa Barat.

Sejak nama kedua putra Aceh itu masuk “bursa” calon Pj gubernur, perang opini antara kedua kubu pun berlangsung. Kubu yang satu menjagokan calonnya dengan mengemukakan beraneka alasan. Kubu yang lain juga demikian.

Masing-masing tentu saja mengatakan jago-nya yang paling pantas diangkat sebagai Pj gubernur karena didukung pengalaman dan jam terbang yang tinggi memimpin birokrasi.

Ketika ditelisik lebih dalam, perang argumentasi kedua kubu itu ternyata tidak lepas dari perseteruan laten yang telah turun-temurun. “Ujung-ujungnya… PSAP vs PSAB juga, ya?” komentar seorang jurnalis senior.

Jika membaca sejarah panjang perseteruan “PSAP vs PSAB” maka untuk kemaslahatan bersama, penunjukan Pj gubernur Aceh mesti dilakukan dengan hati-hati, berdasar pertimbangan yang benar-benar matang. Jangan sampai keberpihakan kepada salah satu kubu menimbulkan perasaan kalah dan rasa kecewa kubu lainnya. Saya tidak mengatakan kalau begitu pilih saja calon ketiga. Itu ranah presiden.

Jika penunjukan Pj gubernur bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan keberlangsungan pembangunan sambil menunggu pilkada 2024, maka pilihan yang harus diambil adalah kekompakan dan semangat persatuan. Bukan perseteruan!

Sumber: kabaraktual.id